Jumat, 18 Juni 2010

Danyang Waranggana dari Wonogiri


DALAM sejarah, Wonogiri dikenal sebagai gudang para waranggana. Suara "kung" waranggana asal Ngadirojo, sebuah kota kecamatan kecil di selatan Wongiri, bahkan telah memikat telinga kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara VII hingga memutuskan memilih salah seorang di antara mereka sebagai istri. Adipati juga membuka jalan bagi para waranggana untuk unjuk suara di istana.

Begitu kuatnya pengaruh waranggana di Wonogiri, muncul satu cerita mitos yang dipercaya masyarakat hingga kini. Ki Widodo Wilis, seorang dalang dari dukuh Sumbersari, Purwosari, Wonogiri, menuturkan, konon, sebatang pohon jati dari hutan Donoloyo yang hendak dihanyutkan menuju istana Mangkunegaran, mogok saat melintas sungai di perbatasan Wonogiri-Solo. "Setelah dinyanyikan oleh sinden, kayu itu baru mau kembali melanjutkan perjalanan," tuturnya.

Suara sinden begitu dihargai oleh masyarakat. Bahkan, cerita kayu jati dari Donoloyo itu mentasbihkan kekuatan magis suara sinden yang dipercaya masyarakat setempat.

Sosok waranggana paling legendaris dari tlatah Wonogiri barangkali belum dapat diambil dari sang pesinden yang berhasil memikat Adipati Mangkunegara. Tapi itu dulu, di masa sang adipati berkuasa sekitar tahun 1900-an. Pascameredupnya kerajaan Mangkunegaran, sinden-sinden istana pun mulai mencari penghidupannya sendiri.

Di era 1970-an, nama Karni Conto patut dipertimbangkan. Suaranya yang halus dan jernih membuat pesinden asal Bulukerto itu menjadi waranggana paling populer kala itu. Selain Karni, ada pula nama Karmiyati yang berasal dari Segawe, Purwosari.

Sepuluh tahun terakhir, kata Sugiyantini, pesinden yang juga adalah istri dari Ki Widodo Wilis, tidak ada nama-nama yang terlalu menonjol. Tapi bukan berarti tidak ada proses regenerasi. "Regenerasi tetap berjalan. Saat ini, tercatat ada sekitar 200 pesinden yang masih aktif di Wonogiri," ujar Yanti--panggilan akrab Sugiyantini, sembari menambahkan gudang waranggana terbesar berasal dari Girimarto, sebuah kecamatan di lereng Gunung Lawu.

Wonogiri, kata Yanti, sampai saat ini masih cukup kondusif bagi kelangsungan kesenian lokal. Dukungan pemerintah setempat, terutama sang bupati yang juga adalah seorang dalang, membuat kehidupan kesenian, termasuk para waranggana, masih dapat berdenyut hingga sekarang.

Meski masih kondusif, para pesinden saat ini sudah semakin bersikap pragmatis. Kebanyakan mereka tak lagi menguasai gending-gending lagu Jawa. Alasannya, nada-nada pentatonis yang dipersyaratkan dalam gending jawa sulit ditaklukkan. "Mereka lebih nyaman bernyanyi campursari dengan nada-nada diatonis," ujar Ki Widodo.

Selain tingkat kesulitan yang tinggi, para pesinden sekarang juga memilih menyanyikan campursari karena lebih banyak peminat. "Bahkan, banyak pesinden yang akhirnya menelurkan album campursari," tandasnya.

Sinden-sinden Wonogiri, kini telah berubah dan berkembang sesuai zamannya. Mereka kini tak lagi terpaku pada laku duduk bertimpuh semalaman di belakang dalang. Namun, suara jernih nan nyaring mereka akan tetap terdengar di penjuru Wonogiri, bahkan semakin meluas melalui kaset-kaset rekaman yang beredar di seantero negeri.

(Farodlilah/CN12)

Sumber:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/wanita/2010/04/30/886/Danyang-Waranggana-dari-Wonogiri
19 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar